Regulasi

BPDPKS: Program PSR Juga untuk Mendata Petani Sawit 

JAKARTA-Program peremajaan sawit rakyat (PSR) tidak hanya semata-mata untuk melakukan replanting, namun juga digunakan untuk mendata jumlah petani sawit di Indonesia. Hal ini disampaikan Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami, Sabtu,20 April 2019 di acara Sosialisasi Kelapa Sawit Purnakarya PT. Bukit Asam. 

"Program peremajaan bukan sekedar untuk meremajakan kebun tapi juga untuk mendata petani," katanya.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga tengah bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik membuat basis data pekebun.

Dikatakan Dono Boestami hal ini adalah rencana jangka menengah yang ditempuh lembaganya untuk ikut memperbaiki industri kelapa sawit. Dengan begitu, pemerintah jadi tahu persis jumlah keluarga petani sawit, jumlah kebun bersertifikat, dan lain sebagainya.

Sementara untuk jangka panjangnya, BPDPKS dan pemerintah akan mendorong percepatan penggunaan greenfuel.

Dono menjabarkan ke depannya industri otomotif akan menggunakan greenfuel sebagai bahan bakar. Baik itu green diesel, green avtur dan green gasoline.

Tipe bahan bakar greefuel, lanjutnya, memiliki perbedaan dengan biodiesel yang saat ini digunakan. Greenfuel tidak perlu lagi menggunakan campuran minyak fosil.

Dengan begitu, beban negara untuk mengimpor bahan bakar fosil pun berkurang.

"Kebutuhan domestik solar per tahun saja antara 25-30 juta kilo liter. Kalau menggantinya dengan greenfuel artinya membutuhkan 25 juta ton minyak sawit," katanya.

Dengan jumlah kebutuhan tersebut, selaras dengan proyeksi produksi minyak sawit nasional pada 2025.

Ketika itu, Dono mengatakan produksi minyak sawit nasional mencapai 55 juta ton.

Dengan serapan untuk bahan bakar 25 juta ton, artinya masih ada sisa 30 juta ton yang bisa digunakan untuk kebutuhan pangan dan pasar ekspor.

Petani pun, lanjutnya, tidak akan mengalami penurunan harga buah karena kelebihan produksi. Pasalnya terbantu dengan pasar energi yang tengah dikembangkan secara masif.

Lebih-lebih, pasar energi membolehkan buah yang masak untuk diproses berbeda dengan pasar pangan.

"[Mesin] Katalisator sudah diproduksi Indonesia dan berhasil. Biayanya pun 60% lebih murah dibandingkan dengan milik asing," katanya seperti dilaporkan Bisnis.com.

Menurutnya dengan target tersebut Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain yang masih menggunakan B5. Dia pun menambahkan berharap agar hasil produksi bisa dinikmati konsumen akhir. Akan tetapi masih ada standar mutu dan percobaan lain yang masih membutuhkan waktu.(rdh)


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar